Lelah dan Istirahat


Ibnul Qayyim mengatakan: "Memang kantuk dan tidur yang melalaikan itu merupakan suatu keharusan, akan tetapi jadilah engkau orang yang tidak banyak tidur." (al-Fawa'id)

Ungkapan kami tidak berarti secara mutlak mencela istirahat sesudah kelelahan, melainkan yang kami maksudkan hanyalah meminimkannya sampao batas yang diperlukan oleh tubuh. Masing-masing orang memerlukan istirahat sesuai dengan kesehatan dan kondisi dirinya. Khususnya bagi orang mukmin di masa sekarang, ia lebih banyak memerlukan waktu untuk bersikap waspada dan mengobati hatinya serta mengawasinya, dibanding kaum muslimin di masa silam.

Demikian itu karena kaum muslimin di masa lalu hidup dalam lingkungan yang serba Islami dan dalam nuansa penuh keutamaan. Sikap saling berpesan untuk kebaikan telah membudaya di kalangan mereka. Hal-hal kotor dan rendah terpaksa dengan susah payah harus menyembunyikan dirinya dari pandangan para ulama dan hukum para amir.

Sedangkan di masa sekarang, setelah peradaban modern terbentuk, semua aliran kekafiran menjadi topik yang didengar dan dapat dilihat melalui radio, layar televisi dan surat kabar. Begitu pula wawancara yang dilakukan terhadap berbagai jenis setan dikemas sedemikian rupa hingga menawan hati .... Kenyataan ini mengharuskannya untuk melakukan mujahadah (berupaya keras) dan mewaspadai waktunya secara lebih ketar dibandingkan dengan para pendahulunya.

Imam al-Banna mengatakan: "Barangsiapa yang mengenal hak waktu berarti ia telah mengetahui harga kehidupan, karena waktu adalah kehidupan."

Imam al-Banna rahimahullah menyukai bila persiapan seorang da'i melampaui apa yang dituntut oleh hari yang dijalaninya, sampai kepada rencana untuk menggunakan waktu di keesokan harinya. Dengan demikian berarti seorang da'i setiap saat senantiasa berniat untuk melakukan kebaikan.

"Dia tidur dengan membawa niat dan tekad yang paling utama." (Majmu'atur Rasa'ilil Imam al-Banna)

Mengisi kekosongan dan bangun tidur yang melalaikan mengandung makna lelah yang tak berkesudahan, lalu mencurahkan segala kemampuan untuk beramal karena Allah.

Hal ini pernah ditegaskan oleh Imam Syafi'i rahimahullah: "Mencari istirahat di dunia ini tidaklah dibenarkan bagi orang-orang yang mempunyai harga diri, karena sesungguhnya seseorang di antara mereka masih akan tetap mengalami kelelahan di waktu kapan pun."
...

Siapa pun yang tidak mengetahui berbagai parameter kaum mukminin, pasti akan mengira, bahwa hak ini sama dengan mengharamkan diri dari kesenangan, atau sebagaibungkapan kiasan belaka yang bisa digunakan oleh para penyair, dan bukan menggambarkan kenyataan sesungguhnya. Akan tetapi orang yang dianugerahi pemahaman tentang al-Quran mengetahui bahwa istirahat yang sesungguhnya ada pada kehidupan akhirat, bukan pada kehidupan dunia.

Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad: "Kapankah seorang hamba merasakan nikmatnya istirahat?" Imam Ahmad menjawab bahwa ia baru akan merasakan istirahat sesungguhnya manakala telah melangkahkan kakinya masuk ke dalam surga. (Thabaqatul Hanabilah)

[Dikutip dari ar-Raqaaiq, Muhammad Ahmad ar-Rasyid]

Sumber gambar : blogumam.wordpress.com