Demikianlah salah satu bukti real. Bukti
real, bahwa film yang tayang sejak 30 Desember 2014 ini sangat sukses
sehingga membuat netizen membuat berbagai macam parody. Sungguh, setelah
Asma Nadia sukses dalam novelnya (Assalamualaikum Beijing, red) ini, kini ia kembali sukses meramu film bernuansa Islam menjadi popular dengan judul yang sama.
Nama Asma Nadia memang sudah sangatlah
popular. Popular karena karya tulisnya sangat dahsyat berlapis cap Best
Seller. Banyak penulis syair, novel, cerita pendek, dan lain sebagainya
menjadikan Asma sebagai rujukan dalam menulis. Saya pun demikian.
Terlepas dari itu, ada satu rahasia
besar yang perlu pula pembaca ketahui. Rahasia dari ribuan tahun yang
lalu, yang perjuangannya dipelajari dan diteladani hingga akhir masa.
Namanya selalu dikenang. Dikenang sebagai penulis yang hebat. Siapa dia?
Yuk kita bahas dengan judul menarik: Assalamualaikum Penulis Cerdas.
Ia diberi nama Zaid Bin Tsabit. Sebagai
anak muda, ia mendapat perhatian khusus oleh Rasulullah Sallallahu
A’laihi Wasallam. Ia adalah seorang yang cerdas dan mempunyai kemampuan
tulis menulis, sehingga diberi tugas menulis wahyu.
Beliau juga memerintahkan Zaid mempelajari beberapa bahasa asing, yang bisa dikuasainya dalam waktu singkat. Ketika Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam mulai
melakukan dakwah kepada raja-raja dan kaisar di luar negeri Arab, Zaid
bin Tsabit menjadi salah satu penulis surat-surat dakwah tersebut karena
kemampuan bahasanya.
Sebenarnya cukup banyak sahabat yang diserahi Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam
untuk menghafal dan menuliskan wahyu yang turun secara bertahap,
terkadang juga berkaitan dengan suatu peristiwa atau sebagai jawaban dan
solusi atas suatu masalah. Tetapi beberapa orang saja yang dianggap
sebagai “pemimpin-pemimpin” dalam bidang ini, mereka itu adalah Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab dan
Zaid bin Tsabit sendiri. Tiga yang pertama adalah dari sahabat Muhajirin
dan dua yang terakhir dari sahabat Anshar.
Ketika pecah pertempuran Yamamah pada
masa Khalifah Abu Bakar, banyak sekali sahabat yang ahli baca (Qary) dan
ahli hafal (Huffadz) yang gugur menemui syahidnya. Hal yang cukup
mengkhawatirkan ini ‘ditangkap’ oleh Umar bin Khaththab. Segera saja
menghadap Abu Bakar dan mengusulkan agar segera menghimpun Al Qur’an
dari catatan-catatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang masih hidup.
Tetapi Abu Bakar berkata tegas, “Mengapa aku harus melakukan sesuatu
yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah) ?”
“Demi Allah, ini adalah perbuatan yang
baik!!” Kata Umar, agak sedikit memaksa. Abu Bakar masih dalam keraguan.
Ia shalat istikharah, dan kemudian Allah membukakan hatinya untuk
menerima usulan Umar. Abu Bakar dan Umar bermusyawarah, dan mereka
memutuskan untuk menyerahkan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit.
Ketika Zaid menghadap Abu Bakar dan diberikan tugas tersebut, reaksinya
sama seperti Abu Bakar, ia berkata “Mengapa aku harus melakukan sesuatu
yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah) ?”
Abu Bakar dan Umar menjelaskan tentang
keadaan yang terjadi dan bahaya yang mungkin bisa terjadi, dan akhirnya
Abu Bakar berkata, “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan kami
tidak pernah meragukan dirimu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam untuk menuliskan wahyu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Qur’an tersebut….”
Zaid bin Tsabit berkata, “Demi Allah,
ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku
untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas
menghimpun al Qur’an yang engkau perintahkan tersebut!!”
Seperti halnya Abu Bakar, akhirnya Zaid
bisa diyakinkan akan pentingnya pekerjaan tersebut demi kelangsungan
Islam di masa mendatang.
Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal al Qur’an dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam sendiri sering mengecek hafalannya. Namun demikian, ia tidak mau menggunakan hafalannya saja.
Kemudian, ia berjalan menemui para
sahabat yang mempunyai catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang
terserak pada kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya dan juga
membandingkannya dengan hafalan para sahabat tersebut.
Setelah semua terkumpul dan dicek ulang
dengan hafalannya dan juga hafalan para sahabat, Zaid menuliskannya lagi
dalam lembaran-lembaran dan menyatukannya dalam satu ikatan. Semuanya
disusun menurut urutan surat dan urutan ayat-ayat seperti yang pernah
di-imla’-kan (didiktekan) Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam kepadanya.
Inilah mushhaf pertama yang dibuat dalam Islam, dan peran Zaid bin
Tsabit sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir
satu tahun untuk menyelesaikannya.
Al Qur’an diturunkan dengan tujuh macam
bacaan (qiraat sab’ah). Hal ini memang diminta Nabi SAW sendiri untuk
kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-beda,
sehingga jika telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut
sudah dianggap benar. Di masa Nabi SAW hidup dan Islam masih di sekitar
jazirah Arab, hal itu tidak jadi masalah. Tetapi ketika wilayah Islam
makin meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat lainnya, sementara
pemeluk Islam juga makin beragam dari berbagai bangsa, bukan hanya Arab,
hal itu bisa menimbulkan perpecahan.
Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam
sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni Siprus dan sekitarnya, benih
berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat
lainnya. Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan usulan
untuk menyatukan mush’af dalam satu bacaan/qiraat saja, dan
menyebar-luaskannya sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang makin
meluas saja. Untuk qiraat sab’ah (bacaan yang tujuh), biarlah hanya
diketahui para ulama dan ahlinya saja.
Khalifah Utsman tidak serta-merta
menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam bid’ah, sebagaimana
yang dikhawatirkan Abu Bakar. Tetapi setelah melakukan istikharah dan
mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya
Qiraat Sab’ah, akhirnya ia menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu
Bakar, khalifah Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek
besar ini, sehingga tersusun kodifikasi Mush’af Utsmani, yang menjadi
cikal bakal dari hampir seluruh Mush’af Al Qur’an yang sekarang beredar
di antara kita. Sungguh kita semua berhutang jasa kepada Zaid bin Tsabit
RA.
Sebagai informasi, Zaid bin Tsabit RA
merupakan sahabat Anshar, yang memeluk Islam bersama keluarganya pada
masa awal Nabi SAW hijrah ke Madinah. Saat itu ia berusia 11 tahun. Ia
beruntung karena sebagai anak-anak, ia secara khusus di do’akan
Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam.
Pada waktu terjadinya perang Badar tahun
2 hijriah, datanglah seorang pemuda kecil berusia 13 tahun. Dia tampak
cerdas, penuh semangat, dan fanatik. Di tangannya tergenggam pedang yang
hampir sama tinggi dengan tubuhnya. Langsung saja dia menghampiri
Rasulullah seraya berkata, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya
Rasulullah. Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.”
Bocah itu pulang sambil menyeret
pedangnya. Wajahnya murung karena tak mendapat kehormatan menyertai
Rasulullah dalam perangnya yang pertama.
Sang ibu, Nuwar binti Malik, menyusul di
belakangnya. Tak kurang kesedihannya daripada putranya. Ingin sekali
dia melihat putranya berangkat sebagai mujahid bersama kaum lelaki yang
lain di bawah panji-panji Rasulullah. Ingin sekali dia menyaksikan
putranya mengantikan kedudukan ayahnya yang telah tiada.
Rasulullah memandangi pemuda kecil itu.
Diam-diam beliau merasa kagum bercampur gembira. Diraihnya bahu anak
itu, ditepuk dengan penuh kasih sayang, sambil dihiburnya, mengingat dia
harus dikembalikan karena masih terlalu muda.
Begitu juga ketika perang Uhud, Nabi
Sallallahu A’laihi Wasallam masih melarang sekelompok anak muda berkuda
termasuk Zaid di dalamnya. Tetapi dua anak muda yang tubuhnya cukup
kekar dan mempunyai keahlian tertentu Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam
mengijinkannya, yakni Rafi bin Khudaij dan Samurah bin Jundub. Keduanya
berusia limabelas tahun. Zaid bin Tsabit sendiri baru terjun dalam
pertempuran dalam perang Khandaq pada tahun ke 5 hijriah. Setelah itu,
ia hampir selalu menyertai berbagai pertempuran yang dilakukan Nabi
Sallallahu A’laihi Wasallam.
Jumardi Salam
Samarinda, 9 Januari 2015
Tulisan Ini dimuat juga di : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2015/01/09/assalamualaikum-penulis-cerdas-715747.html