Pelajaran dari Alam

Pasar terletak tak jauh dari rumah. Jika memakai mobil, paling tidak hanya membutuhkan waktu 7 menit saja. “Naik motor saja deh. Lumayan kita bisa hemat waktu pa” kata istri pada saya.

Saya menyepakati lalu menyuruh istri memanggil ananda yang sedang asyik nonton filem kartun kesayangannya. Setelah istri menjelaskan, ananda ternyata kegirangan entah apa yang ia pikirkan tentang pasar. “Azfar nanti duduk di depan saja ya ma” kata ananda membujuk.

Sampai tujuan, saya berbisik pada istri: “Mama saja ya ke dalam. Biarlah Azfar bermain dengan papa saja”. “Loh, papa mau kemana?” tanya istri. “Papa akan ajak ananda bermain dengan alam di seberang sana ma” jawab saya sambil menunjukkan lokasi yang dimaksud.

Istri menganggung lemah. Sebelum berangkat, saya berbisik padanya: “Ma, jangan lupa ya belikan papa bakso, tapi sambelnya dipisahin ya. Papa kurang suka”.“Ia sayang. Udah, ajak ananda sana” jawabnya.

“Nak, main yuk bareng papa” kata saya pada ananda yang terlihat sibuk memainkan stir motor. “Kita mau kemana sih pa?” kata ananda dengan rasa penasaran. “Udah, yuk ikut saja. Seru kok”. “Oke deh pa” timpalnya.

Kami pun mengawali perjalanan ini sambil melantunkan lagu Haddan Alwi yang berjudul Muhammadku. Kebetulan lagu ini merupakan kesukaan ananda. Jadi, perjalan kami lebih santai.

Awal memasuki hutan, ananda mengatakan pada saya bahwa suasananya sangat enak. “Damai dan sejuk banget” katanya. Sekitar 2 meter kami memasuki hutan tersebut, saya melihat beberapa ekor kelinci sedang berlari-larian. “Nak, coba lihat. Itu hewan apa ya?” tanya saya pada ananda.

Ia masih terdiam memperhatikan. Saya bertanya untuk kedua kalinya, akhirnya ia pun menjawab: “Itu kelinci pa”. “loh, itu tikus nak bukan kelinci” jawab saya sedikit mengecoh pikirannya.

“Papa ini bagaimana sih. Itu bukan tikus. Kalau tikus itu lebih kecil daripada kelinci. Lihat, badanya besar pa” tegas ananda. Saya tersenyum, namun rasanya jantung ini mau copot. Duh, ternyata pemikiran ananda kritis juga.

Masih mengitari hutan, saya berusaha memancing ananda untuk bertanya tentang apa saja yang ia lihat. Akhirnya ananda pun terpengaruh. “Pa ini pohon apa ya?” lalu, “ini kok daunnya jika di sentuh kok jadi layu?”. Kemudian, “Pa, tumbuhan ini kok daunnya warna hijau?” dan masih banyak lagi yang di tanyakan.

Saya tak menyadari mengapa banyak sekali pertanyaan yang keluar dari mulut ananda. Luar biasa, bangga kali saya padanya. Ini kesempatan baik buat saya untuk menjawabnya dengan spesifik plus semangat membara.

Setelah saya jelaskan, ananda tampak senang. Namun, tiba-tiba saja ia berucap: “Pa, kalau besar, Azfar pengen merawat hutan”. “Nah loh, alasannya apa nak?” tanya saya penasaran.

Ananda meninggalkan saya dan berlari menuju pohon kelapa yang habis di tebang. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya 17 meter. Ia menaikinya lalu berteriak dengan gagahnya: “Azfar pengen jadiin Indonesia lebih damai dan sejuk”.

Ananda melanjutkan lagi perkataanya namun kali ini suaranya tak terlalu nyaring. Katanya begini: “Jika Azfar lihat ya pa, di kota kita ini penuh dengan pencemaran lingkungan. Kan sangat meresahkan”.

Cita-cita ananda mulia sekali walaupun usianya masih muda. Dua minggu lagi usianya memasuki 8 tahun. Sebagai orang tua, saya tak berhak membatasi apa yang menjadi keinginannya kelak. Meskipun sebenarnya saya menginginkannya sebagai seniman. Biarlah ananda berkreasi dengan apa yang disenanginya namun tentu saja hal ini perlu bimbingan yang ekstra agar tidak tersesat.

Saya mendekati ananda, lalu meminta jarinya untuk saya genggam sembari berkata: “yuk Pak Mentri Kehutanan, mari kita jemput ibumu”.

Jumardi salam
Samarinda, 31 Desember 2013