Kemarin, saya mampir ke
warung rekan bernama Hendri. Saat itu, mata saya tertuju pada sebuah mobil
bergaya modern yang parkir di depan warung sahabat saya ini. Acil yang sibuk
mengurus masakan juga menatap tajam mobil itu.
Si Acil sepertiya memiliki
pikiran yang sama dengan saya. Ya, pasti mobil itu mampir untuk makan bersama
sanak keluarganya di warung bermenu soto Banjar ini. Selain rasanya enak, harganya
pun cukup murah.
Tak lama kemudian, pengguna
mobil itu pun keluar dari barang mewahnya itu. Anehnya, ia sama sekali tak
menyapa kami. Apalagi mampir. Lelaki itu ternyata berkunjung disebelah warung
ini. Ah, mata Acil tiba-tiba saja layu dan melanjutkan pekerjaannya.
Sekilas, memang tampak
tidak wajar. Namun menurut saya hal ini lumrah karena memang keadaan yang harus
memaksa. Maksudnya, tempat parkir untuk tokoh sebelah memang sempit sehingga
sang pengendara itu harus mencari tempat. Kalau perlu ya harus dekat dengan toko
tujuannya.
Kalau rekan-rekan
berkunjung di Samarinda, pemandangan seperti ini sangat mudah ditemukan. Bangunan
tinggi, warung mewah, dan apapun itu, banyak yang tak memiliki lahan parkir
yang luas.
Nah, kalau keadaannya
sudah seperti ini, mau tidak mau ya ruas jalan pun harus menjadi korban. Atau,
tempat lain yang memiliki fasilitas parkiran yang luas menjadi sasaran
selanjutnya. Meski ya harus merogoh kocek karena banyak tukang parkir.
Ya, di Samarinda banyak
sekali tukang parkir. Apalagi rekan-rekan menyempatkan jalan-jalan di sekitaran
pasar pagi. Pekerjaan tukang parkir ini mulia. Namun jarang ditemukan yang berstatus
legal dan tidak menggangu fasilitas umum.
Selain parkir liar,
masyarakat sekitarnya pun dapat pula menjadi penyebab kemacetan. Ide pemerintah
untuk membuat jembatan gantung sudah baik untuk menghemat kemacetan. Namun
saying masih minim peminat. “Lama. Ngapain repot-repot kalau bias cepat”
barangkali demikianlah menurut pikiran sang penyebrang. Setidaknya, hal
sederhana itu (menyebrang-red) dapat mengurangi kemacetan.(js)
Jumardi
Salam
Samarinda,
21 Agustus 2014