Tahun baru akan segera
menyambut kita (dari tahun 2013 ke tahun 2014). Gak
terasa ya. Semua bergembira dan menyiapkan target masing-masing, barangkali
rekan sekalian pun demikian. Hal ini dapat diamati dengan menyimak status
teman-teman kita di fesbuk maupun di social
media lainnya.
Dalam tahap menyambut
tahun baru, seringkali di barengi dengan hal-hal yang menarik dan bersifat wow this is amazing. Artinya, menjelang pergantian
tahun, berbagai discount menarik siap
menghipnotis kita, “Tahun baru harga naik” katanya. Demikian pula dengan malam menjelang
tahun baru. Kita akan menyaksikan langit dipenuhi dengan warna warni yang
menakjutkan dengan bantuan kembang api dan petasan (marcun). “Boros? Ah biarkan
saja. Yang penting happy, toh sekali setahun jugakan?” barangkali
demikianlah alasan orang-orang yang ikut serta dalam perayaan tahun baru. namun,
siapa sih yang memulai ini semua?
Dalam buku The World Book Encyclopedia tahun 1984 volume
14 halaman 237, perayaan tahun baru
bermula ketika penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 januari sebagai hari
permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 sebelum masehi (SM). Orang Romawi
mempersembahkan hari ini (1 januari) kepada Janus, dewa segala gerbang,
pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan januari diambil dari nama Janus
sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap ke
(masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.
Pada saat menjelang pergantian
tahun, orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci
untuk merayakannya. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis
emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Tak heran jika bulan januari
diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang
satu lagi menghadap ke belakang).
Nah, Bagi orang Persia
yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari
raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz
atau Nurus.
Penyebab mereka
menjadikan hari tersebut sebagai hari raya tidak lain adalah ketika Raja
mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’,
yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun.
‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada
tahun baru itulah Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan yang tinggi.
Kisah perayaan mereka
ini diabadikan oleh al-Imâm an-Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arob dan al-Muqrizî
dalam al-Khuthoth wats Tsâr. Di dalam
perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya – karena mereka
adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman
dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur
sesama mereka dengan air dan khomr
(minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam.
Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka di siram
dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan
kerusakan.
Setelah kita mengetahui
bahwa tradisi Perayaan 1 januari merupakan Perayaan yang terkait dengan ritual
keagamaan dan budaya dari kufar, maka sebaiknya kita tidak perlulah ikut ikutan
merayakannya apalagi meniru budaya dari kaum kufar.
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. 17:36)
Demikian pula dengan
sabda Rasulullah berikut:
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”
Tentu sikap kita bukan
atas dasar sekedar ikut ikutan , tetapi pilihan kita adalah yang berdasarkan
pengetahuan. karena kita sadar betul bahwa tentu saja semuanya akan dimintai
pertanggungan jawab di Yaumil Hisab
kelak.
Sumber referensi: http://www.muslim-menjawab.com/